upacara peringatan HUT MA RI ke 70 di Banda Aceh

IMG_7343Dalam rangka memperingati HUT MA RI ke 70 hari Rabu tanggal 19 Agustus 2015 di Banda Aceh diselenggarakan upacara bertempat di Mahkaah Syari’ah Provinsi Aceh diikuti oleh personil dari lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama(Mahkamah Syari’ah), lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Bertindak selaku inspektur upacara adalah Ketua Pengadilan Tinggi/Tipikor Banda Aceh dan pada upacara tersebut dibacakan amanat Ketua MA RI yang pada intinya sebagai berikut:

Amanah konstitusi terhadap lembaga peradilan dengan kekuasaan yang merdeka, mengandung makna bahwa pengadilan sebagai lembaga yudikatif tidak dapat diatur atau dipengaruhi oleh lembaga eksekutif maupun legislatif. Artinya Hakim tidak berada di bawah pengaruh atau tekanan atau campur tangan dari pihak manapun atau kekuasaan apapun juga. Lembaga yudikatif, setara dengan kekuasaan pembentuk undang-undang (legislatif), dan pelaksana urusan pemerintahan (eksekutif). Meskipun sebelumnya, Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif harus berbagi dengan kekuasaan eksekutif dengan keterlibatan eksekutif melalui departemen terkait, yang pacia waktu itu dikenal dengan sistem dua atap, sehingga kondisi tersebut dikhawatirkan akan mengurangi independensi atau kebebasan hakim dalam memutuskan perkara. Namun dengan terbitnya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang merupakan penjabaran dari TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Negara sebagai Haluan Negara, maka terwujud sistem peradilan dalam satu atap sehingga tidak dimungkinkan lagi adanya departemen yang dapat mengatur hakim atau lembaga peradilan, yang sepenuhnya berada di bawah Mahkamah Agung.

Dengan kemandirian lembaga peradilan tersebut, Hakim harus memahami betul amanah dalam menjalankan tugasnya dan tetap menjunjung tinggi kemandirian dalam melaksanakan amanah tersebut. Kemandirian Hakim harus dimaknai “bebas dan”, yang berarti terlepas dari semua intervensi dan ikatan yang membelenggunya dalam menegakkan hukum, dan menjamin hak setiap warga negara memperoieh keadilan, dan bukan “bebas untuk, yang berarti kewenangan tanpa batas yang cenderung korup. Dengan demikian, Hakim harus membentengi diri dari intervensi yang dapat merusak independensi fungsional hakim, prinsip yang sudah berlaku universal ini antara lain dinyatakan dalam Bangalore Principle of Judicial Conduct. Hakim di seluruh lndanesia harus meresapi prinsip ini sebagaimana telah pula diatur dalam Pedoman Perilaku dan Kode Etik Hakim.

Mahkamah Agung menerapkan zero tolerance, semua pelanggaran akan ditindak tegas sesuai bobot kesalahannya, karena perbuatan mereka tidak hanya merugikan para pencari keadilan yang berperkara, tetapi juga merusak nama baik lembaga, sehingga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan dan penegakan hukum di Indonesia pada umumnya.

Dari gambaran tersebut, saudara-saudara dapat memahami bahwa dalam konsep negara demokrasi modern, masyarakat telah memberikan Kepercayaan kepada hakim dan lembaga peradilan untuk menjalankan kekuasaan yang sangat mulia ini. Oleh karena itu sudah sepatutnya kita memegang teguh amanah dan kepercayaan pubiik dengan menunjukkan kinerja yang profesional dan berintegritas.

Kepercayaan dan keyakinan pubiik terhadap hakim dan lembaga peradilan merupakan suatu hal yang masih perlu dievaluasi. Jika kita telaah akar masalhnya, salah satu penyebabnya adalah : para hakim sebagian belum berhasil memaknai jabatan yang diembannya sebagai hakim, melainkan hanya sebatas profesi atau pekerjaan. Demikian pula unsur supporting unit pada kepaniteraan dan kesekretariatan, memandang pekerjaannya hanya dari aspek administrasi birokrasi belaka.

[Best_Wordpress_Gallery id=”16″ gal_title=”HUT MA RI”]

Skip to content